14 November 2011

Kholifah Umar bin Abdul Aziz



UMAR BIN ABDUL AZIZ رحمه الله
Kholifah Pembela Sunnah dan Penegak Keadilan
oleh: Ustad Abu Faiz al-Atsari خفظه الله




NAMA DAN NASAB BELIAU
Beliau adalah Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushoi bin Kilab, al-Qurosyi al-Madani.
Ayah beliau yaitu Abdul Aziz bin Marwan adalah seorang yang pernah menjabat pemimpin di salah satu wilayah kota Mesir dan di sana pulalah beliau lahir, sedangkan ibu beliau adalah Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khoththob رضي الله عنه.
Beliau adalah seorang yang berkulit coklat sawo matang, berparas lembut, berbadan kurus, berjenggot rapi, bermata cekung, dan di wajahnya ada bekas luka karena tertanduk kuda.
Berkata Hamzah bin Sa’id, “Suatu hari Umar bin Abdul Aziz ingin menemui bapaknya sedang pada waktu itu dia masih bocah, lalu seekor kuda menanduknya sehingga melukainya, maka bapaknya sambil mengusap darah yang mengalir seraya mengatakan, ‘Kalau engkau bisa menjadi orang Bani Umayyah yang paling kuat sungguh itu adalah keberuntungan.’” [1]
Dan di masa mudanya Umar bin Abdul Aziz lebih mengutamakan ilmu dari menyibukkan urusan kekuasaan dan jabatan, sehingga ia telah hafal al-Qur’an di masa kecilnya lalu beliau meminta kepada ayahnya agar mengizinkannya untuk melakiikan rihlah (perjalanan jauh) dalam tholabul ilmi (menuntut ilmu). Maka berangkatlah ia ke Madinah, kota yang dahulu ditinggali Rosululloh صلي الله عليه وسلم. Di sana beliau duduk belajar agama menimba ilmu akhlak dan adab kepada para fuqoha Madinah. Dan di sanalah pula beliau dikenal dengan ilmu dan kecerdasannya, sehingga Alloh عزّوجلّ menakdirkan kelak ia akan menjadi seorang pemimpin yang adil dan faqih dalam urusan agamanya.
Setelah ayahanda meninggal dunia beliau diminta untuk tinggal bersama pamannya yaitu Abdul Malik bin Marwan bahkan ia dinikahkan dengan putrinya yaitu Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan.
Garis nasab beliau sebenarnya tidak berjalur darah kekhilafahan, karena beliau adalah putra dariAbdul Aziz bin Marwan sedang jalur kekhilafahan adalah pada nasab Abdul Malik bin Marwan. Namun takdir Alloh عزّوجلّ di atas segalanya. Alloh عزّوجلّ menakdirkan kepemimpinan berpindah kepada beliau sekalipun beliau tidak pernah berambisi dan merebutnya, dan kepemimpinan beliau sangat mirip dengan kepemimpinan sahabat mulia Abu Bakr ash-Shiddiq رضي الله عنه, karena beliau hanya memerintah selama kurang lebih 2 tahun 5 bulan, namun beliau mampu mengembalikan kejayaan Islam setelah sebelumnya terpuruk dan terkalahkan oleh kezaliman para penguasa, maka ia mulai menata kepemimpinan, mengembalikan setiap kezaliman yang pernah dilakukan, mengangkat para pemimpin yang jujur dan amanah serta mencopot para pemimpin yang zalim lagi khianat maka dengan sebabnya Alloh عزّوجلّ memuliakan kembali agama ini, mengibarkan bendera Sunnah, memupus segala bentuk kebid’ahan sehingga Ahlus Sunnah mulia dan ahlul bid’ah menjadi hina dan terusir.
AWAL MULA KEPEMIMPINAN BELIAU
Dari Roja’ bin Haiwah رحمه الله ia berkata, “Pada hari Jum’at, kholifah kaum muslimin pada waktu itu yaitu Sulaiman bin Abdul Malik mengenakan pakaian berwarna hijau lalu ia melihat ke arah cermin seraya berkata, ‘Sungguh demi Alloh عزّوجلّ aku adalah seorang pemuda yang menjadi raja.’” Lalu beliau berangkat sholat bersama manusia dan ia tidak kembali kecuali hari telah menjadi sangat panas. Setelah usia beliau telah lanjut ia menulis surat wasiat bahwa penggantinya kelak adalah putranya sendiri yaitu Ayub bin Sulaiman namun ia masih kecil dan belum baligh, maka aku (Roja’ bin Haiwah) katakan, ‘Apa yang telah engkau persiapkan wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya yang menjaga seorang kholifah kelak di alam kuburnya adalah kebaikannya karena telah menunjuk penggantinya yang sholih.’ Lalu beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku telah menulis suratwasiat setelah beristikhoroh kepada Alloh عزّوجلّ perihal penggantiku kelak.’ Namun, setelah berlalu satu atau dua hari tiba-tiba beliau membakar surat wasiat yang telah ia tulis lalu memanggilku dan bertanya, ‘Menurutmu bagaimana denganDawud bin Sulaiman?’ Aku katakan, ‘Beliau saat ini sedang menghilang di kota Konstantinopel dan tidak ada kabar berita apakah ia masih hidup atau telah meninggal sebagaimana engkau ketahui.’ Beliau melanjutkan, ‘Wahai Roja’, kalau begitu siapa orang yang pantas menjadi penggantiku?’ Aku katakan, ‘Itu berada pada keputusanmu, aku hanya ingin tahu siapa orang yang engkau pilih kelak.’ Kholifah mengatakan, ‘Bagimana menurutmu dengan Umar bin Abdul Aziz?’ Aku katakan, Aku mengetahui siapa beliau, beliau adalah seorang yang jujur dan memiliki keutamaan.’ Lalu beliau menandaskan, ‘Kalau begitu aku akan tetapkan bahwa ia adalah penggantiku, tetapi bila aku tidak menetapkan salah satu dari keturunan Abdul Malik pasti akan terjadi fitnah, dan mereka tidak akan membiarkan kepemimpinan berpindah dari tangan mereka kecuali bila aku tetapkan salah satu keturunan mereka adalah pengganti setelah Umar bin Abdul Aziz.’ Maka aku katakan, ‘Kalau begitu, tetapkan saja Yazid bin Abdul Malik —dan tatkala itu beliau sedang tidak di tempat—sebagai pengganti Umar bin Abdul Aziz kalau memang hal itu akan membawa kepada keridhoan mereka.’ Kemudian kholifah Sulaiman bin Abdul Malik menuliskan surat wasiat penetapan Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya dan Yazid bin Abdul Malik adalah pengganti setelah Umar bin Abdul Aziz.’” [2]
Dari Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz ia bercerita, “Seusai Umar bin Abdul Aziz menguburkan Sulaiman bin Abdul Malik dan baru keluar dari pekuburan ia mendengar suara hentakan kaki kendaraan (hewan tunggangan, Red.), lalu ia bertanya, ‘Suara apa itu?’ Lalu dijawab, ‘Itu adalah suara kendaraannya kholifah wahai Amirul Mukminin, aku mendekatkannya agar engkau menaikinya.’ Ia menjawab, ‘Siapa aku … aku tidak pantas menaikinya … jauhkan itu dariku, dekatkan saja keledaiku.’ Lalu aku dekatkan keledainya lalu beliau menaikinya.
Kemudian datang pengawal kholifah di depan beliau dengan membawa tombak, lalu beliau mengatakan, ‘Menjauhlah kalian dariku, siapa aku … aku hanyalah salah satu di antara kaum muslimin.’ Lalu beliau berjalan dan manusia mengikutinya hingga mereka sampai ke masjid, lalu beliau naik mimbar dan manusia berkumpul kemudian beliau mengatakan, ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diuji dengan perkara ini (kepemimpinan, Red.), tiadanya kesepakatan dariku sebelumnya, tidak pula ada permohonan atau musyawarah dari kaum muslimin, maka dengan ini aku umumkan bahwa aku telah melepas kewajiban kalian untuk berbai’at kepadaku. Maka silakan kalian memilih orang yang pantas menjadi pemimpin kalian.’ Maka semua manusia bersuara dengan satu suara seraya mengatakan, ‘Sungguh kami telah memilih engkau wahai Amirul Mukminin, dan kami telah ridho denganmu, maka jalankan amanah ini semoga Alloh عزّوجلّ memberkahimu.’ Maka tatkala semua suara telah mereda dan semua manusia telah ridho dengan kepemimpinan beliau lalu beliau memuji Alloh عزّوجلّ, menyanjung-Nya, dan bersholawat kepada Nabi صلي الله عليه وسلم, lalu mengatakan, ‘Sesungguhnya aku berwasiat agar kalian senantiasa bertakwa kepada Alloh عزّوجلّ karena takwa kepada-Nya akan menjaga diri dari segala sesuatu, beramallah untuk akhirat kalian, karena barang siapa yang beramal untuk akhiratnya maka Alloh عزّوجلّ akan mencukupkan urusan dunianya …. Wahai sekalian manusia, kepada (pemimpin) yang taat kepada Alloh عزّوجلّ maka kalian wajib menaatinya dan kepada (pemimpin) yang bermaksiat kepada-Nya maka kalian wajib tidak menaatinya, maka taatilah aku selama aku menaati Alloh عزّوجلّ dan bila aku bermaksiat kepada-Nya maka janganlah kalian menaatiku.’”
PUJIAN ULAMA KEPADANYA
Berkata Sufyan ats-Tsauri رحمه الله “Sesungguhnya jumlah para khulafa adalah lima, mereka adalah Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz.”‘ [3]
Dari Anas bin Malik رضي الله عنه ia berkata, “Tidaklah aku pernah sholat di belakang seorang pun sepeninggal Rosululloh صلي الله عليه وسلم yang sholatnya sangat mirip dengan sholatnya beliau selain laki-laki ini yaitu Umar bin Abdul Aziz, beliaulah Amir Kota Madinah.” [4]
Berkata al-Imam Ahmad bin Hambal رحمه الله “Sesungguhnya Alloh عزّوجلّ mendatangkan kepada manusia setiap seratus tahun seorang alim yang akan mengajarkan sunnah-sunnah Nabi-Nya, menangkis setiap tuduhan dan kedustaan yang dialamatkan kepada Rosululloh صلي الله عليه وسلم. Maka kami meneliti ternyata di seratus tahun pertama beliau adalah Umar bin Abdul Aziz sedang pada seratus tahun kedua adalah asy-Syafi’i.”
Beliau juga mengatakan, “Apabila engkau melihat seorang yang mencintai Umar bin Abdul Aziz dan menyebut-nyebut kebaikan dan keutamaannya maka ketahuilah di belakang hal itu membawa kepada kebaikan.” [5]
Berkata al-Imam adz-Dzahabi   “Beliau (Umar bin Abdul Aziz) adalah seorang yang bagus baik penciptaan maupun akhlaknya, sempurna akal dan kecerdasannya, ahli dalam siasat, sangat peduli dengan keadilan di setiap keadaan, seorang yang faqih dan luas ilmunya, sangat tampak kecerdasan dan pemahamannya, banyak berdo’a dan mengingat Robbnya, bersikap zuhud di dalam kesanggupan dan kekayaannya, membela kebenaran sekalipun sedikit orang yang membantunya dan banyak pemimpin zalim yang menyelisihinya, banyak mengadili harta-harta mereka yang telah mereka ambil secara zalim sampai mereka mengirimkan racun dan akhirnya beliau mendapatkan syahadah (kesayhidan) dan sa’adah (kebahagiaan), dan ahlul ilmi menghitung beliau termasuk Khulafaur Rosyidin dan ulama yang mengamalkan ilmunya.” [6]
POTRET IBADAH BELIAU
Dari Mughiroh bin Hakim ia berkata bahwa Fathimah binti Abdul Malik istri Umar bin Abdul Aziz pernah mengatakan, “Wahai Mughiroh, mungkin saja ada orang yang lebih banyak puasa dan sholatnya dari pada Umar bin Abdul Aziz, tetapi aku tidak melihat ada manusia yang lebih tinggi rasa takutnya kepada Robb-Nya ketimbang Umar bin Abdul Aziz. Adalah beliau apabila telah masuk rumah ia segera ke tempat ibadahnya, ia terus-menerus menangis dan berdo’a hingga ia dikalahkan oleh kantuknya, kemudian ia terbangun lagi dan melakukan hal yang serupa dengan sebelumnya pada malam itu seluruhnya.” [7]
Dari Atho’ bin Abi Robah ia berkata: “Fathimah binti Abdul Malik istri Umar bin Abdul Aziz pernah bercerita, “Suatu hari aku masuk ingin bertemu beliau, namun ternyata beliau masih berada di dalam mushollanya, tangannya sedang diletakkan di pipinya dan air matanya mengalir, lalu aku katakan, ‘Wahai Amirul Mukminin, apakah ada sesuatu yang menimpamu?’ Lalu beliau mengatakan, ‘Wahai Fathimah, sesungguhnya aku sedang memikirkan nasib umat Muhammad صلي الله عليه وسلم, aku sedang memikirkan nasib si miskin yang kelaparan, si sakit yang merintih, si fakir yang telanjang kedinginan, seorang yang terzalimi karena hartanya dirampas, seorang yang tersesat dan tertawan, si jompo dan si miskin yang memiliki banyak tanggungan dan kebutuhan hidup di segala penjuru bumi, dan aku tahu bahwa Robbku akan bertanya kepadaku tentang nasib mereka dan lawan bicaraku tatkala itu selain mereka adalah Muhammad صلي الله عليه وسلم. Maka aku sangat khawatir bila aku tidak memiliki hujjah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, sedang aku merasa kasihan melihat keadaan diriku tatkala itu, sehingga aku menangis.’” [8]
POTRET KEZUHUDAN BELIAU
Berkata Ahmad bin Abi al-Hiwari, “Aku mendengar Abu Sulaiman ad-Daroni dan Abu Shofwan keduanya tengah memperbincangkan Umar bin Abdul Aziz dan Uwais al-Qorni. Berkata Abu Sulaiman kepada Abu Shofwan, ‘Umar bin Abdul Aziz adalah orang yang lebih zuhud ketimbang Uwais al-Qorni.’ Maka Abu Shofwan menimpali, ‘Mengapa?’ Beliau menjawab, ‘Karena Umar bin Abdul Aziz telah memiliki dan menguasai dunia namun ia tetap zuhud darinya.’ Maka Abu Shofwan membela seraya mengatakan, ‘Seandainya Uwais diberi kekuasaan terhadap harta tentu ia akan berbuat sebagaimana yang diperbuat Umar bin Abdul Aziz!’ Maka berkata Abu Sulaiman, ‘Jangan samakan orang yang telah mencoba dengan orang yang belum mencobanya, karena seorang yang tatkala dunia berada di tangannya namun ia tetap tidak menoleh harapan darinya, itu lebih utama daripada orang yang tidak pernah diuji dengan dunia sekalipun sama-sama ia tidak menaruh harapan darinya.’” [9]
Dari Wuhaib bin Warod ia berkata, “Suatu hari keluarga Marwan berkumpul di depan pintu Umar bin Abdul Aziz, lalu datanglah Abdul Malik putra Umar bin Abdul Aziz untuk bertemu ayahnya. Maka mereka mengatakan, ‘Izinkanlah kami untuk masuk dan bertemu Umar bin Abdul Aziz atau sampaikan pesan kami kepada beliau.’ Lalu Abdul Malik mengatakan, ‘Sebutkan saja apa pesan kalian kepada kholifah.’ Lalu mereka memaparkan, ‘Sesungguhnya kebiasaan para kholifah sebelum beliau adalah mereka selalu memberi kami harta dan mereka mengerti akan kedudukan kami, sedangkan ayanmu sungguh beliau telah memutus dan tidak memberi kami sepeser pun?!!’ Lalu Abdul Malik pun masuk menemui ayahanda dan menyampaikan pesan mereka, lalu kholifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan, ‘Katakan kepada mereka, sesungguhnya ayahku mengatakan kepada kalian, bahwa aku takut akan siksa Robbku bila aku bermaksiat kepada-Nya.’”
Dari Amr bin Muhajir bahwa Umar bin Abdul Aziz memiliki lampu minyak yang digunakan untuk kebutuhan kaum muslimin, bila ia telah selesai mengerjakan apa yang menjadi tugasnya ia mematikan lampu tersebut dan menggantinya dengan lampu miliknya sendiri.”
WAFATNYA BELIAU
Beliau meninggal dunia di Dir Sam’an sebuah kota di Hims, pada tanggal 20 Rojab 101 H. Tatkala itu beliau baru berumur 39 tahun 6 bulan. Beliau meninggal dunia karena diberi racun oleh Bani Umayyah yang jemu dengan beliau sebab beliau sangat mempersempit keinginan mereka dan mengadili harta yang mereka ambil dan hal itu membuat murka mereka, sedang beliau tidak terlalu memperketat penjagaan dirinya.
Mujahid menceritakan: “Umar bin Abdul Aziz telah berkata kepadaku, ‘Apa yang manusia katakan tentang diriku?’ Aku katakan, ‘Mereka menyangka engkau terkena sihir.’ Beliau menjawab, ‘Sungguh aku tidak terkena sihir, dan aku masih ingat pada waktu itu tatkala aku diberi minuman yang telah dibubuhi racun yang dibawa oleh budakku, maka kupanggil budakku tersebut lalu kukatakan kepadanya, ‘Celaka kamu, apa yang mendorongmu sehingga engkau memberiku minuman yang dibubuhi racun?’ Budak itu menjawab, ‘Upah 1.000 dinar dan janji bahwa aku akan dimerdekakan.’” Lalu Umar bin Abdul Aziz berkata, “Mana uang tersebut?” Lalu budak itu mengambilnya kemudian beliau mengambil uang tersebut dan memberikannya kepada baitul mal seraya mengatakan, “Sekarang pergilah anda dan jangan ada seorang pun yang melihatmu.”
Akhirnya, beliau meninggal dunia dengan meninggalkan 11 anak, dan harta yang beliau tinggalkan hanya sebanyak 17 dinar, beliau dikafani dengan kain kafan seharga 5 dinar, dan tanah tempat ia dikubur dibeli dengan harga 2 dinar sedangkan sisanya dibagikan kepada anak-anaknya sehingga masing-masing hanya mendapatkan harta warisan dari sang kholifah kaum muslimin sebanyak 19 dirham.
MUTIARA TELADAN
Inilah beberapa pelajaran berharga dari perjalanan hidup sang kholifah yang adil tersebut:
1.            Kebaikan pemimpin akan membawa kebaikan untuk rakyatnya dan sebaliknya kezaliman seorang penguasa akan berakibat kerusakan pada rakyatnya. Oleh karenanya, merupakan ciri dan tanda Ahlus Sunnah adalah mereka selalu mendo’akan kebaikan untuk para pemimpin mereka, berbeda dengan ahlul bid’ah justru mereka senang mengumpat dan membeberkan kejelekan-kejelekan pemimpinnya di mimbar-mimbar mereka dan di majelis-majelis mereka. Na’udzubillah.
2.            Seorang pemimpin yang sholih adalah seorang pemimpin yang mendahulukan kepentingan rakyatnya, membantu orang-orang yang lemah, menolong orang-orang miskin dan terzalimi; bukan pemimpin yang hanya memperkaya dirinya dengan mengambil harta kaum muslimin secara zalim.
3.            Ilmu yang sebenarnya adalah ilmu yang akan mengajari seseorang bersikap waro’, tawadhu’, dan peka terhadap keadaan saudaranya, maka ilmu itu akan menambah kedekatannya kepada Robbnya sehingga tatkala ia menjadi pe-mimpin maka ia akan menjadi pemimpin yang adil yang melaksanakan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya dan bila ia pun menjadi rakyat biasa maka ia akan menjadi rakyat yang taat kepada pemimpinnya dan melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya sehingga kebahagiaan individu dan masyarakat akan dapat terwujud baik di dunia maupun di akhirat.
Wallohu A’lam.


[1] Lihat Siyar A’lam an-Nubala’: 5/115
[2] Lihat Min A’lam Salaf biografi Umar bin Abdul Aziz hlm. 62.
[3] Lihat Tarikh al-Khulafa’: 228
[4] Lihat Min A’lam Salaf biografi Umar bin Abdul Aziz hlm. 64
[5] Manaqib Umar bin Abdul Aziz libni al-]auzi hlm. 75
[6] Lihat Siyar A’lam an-Nubala’: 5/120
[7] Lihat Hilyatul Auliya’: 5/260
[8] Lihat Hilyatul Auliya’: 5/288
[9] Siroh Umar libni al-Jauzi: 184

No comments: