Bukan Untuk Orang Yang Malas
Meraih surga yang dijanjikan oleh Allah swt adalah impian setiap muslim, tapi sayangnya 'kavling' surga tidak dibagikan secara gratis. Surga hanya diwariskan kepada hamba-hambaNya yang beriman (baca: berilmu) & beramal soleh. Iman tanpa amal merupakan sebuah dusta, dan amal tanpa iman merupakan perbuatan sia-sia. Amal yang diterima oleh Allah swt, pertama, harus didasarkan rasa ikhlas, semata-mata sebagai bentuk implementasi pengabdian diri seorang hamba kepada Tuhannya dan kedua, harus benar ilmunya, yaitu sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Allah swt. Manusia tidak diberi sedikitpun hak untuk ‘menciptakan’ suatu bentuk ibadah apapun selain apa yang telah ditentukan dariNya baik melalui Kalam-Nya (Al-quran) maupun perbuatan atau perkataan yang dicontohkan oleh RasulNya (as-Sunnah),
"Apakah mereka mempunyai para sekutu yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?.” (QS. 42:21)
Rasa Ikhlas merupakan urusan antara seorang hamba dengan Allah swt, orang lain tidak akan mungkin mengetahui apakah seseorang yang sedang melakukan perbuatan amaliah, didasari rasa ikhlas atau tidak. Masalah hati adalah urusanNya, hanya Dialah yang menggenggam dan membolak-balikkan hati setiap manusia. Jadi lebih utama jika kita selalu mengedepankan sikap berbaik sangka.
Berbeda dengan ikhlas, benar atau tidaknya suatu perbuatan amaliah dapat diketahui oleh setiap manusia. Tentunya manusia yang mengoptimalkan kerja akal dan panca inderanya.
Ilmu harus lebih diutamakan daripada amal, karena ilmu-lah yang memberikan petunjuk dan ‘mengawal’ arah amal yang kita lakukan agar tidak melenceng dari ‘garis’ yang telah ditentukan yaitu Al-quran dan as-Sunnah.
Rasulullah saw bersabda,
“Ilmu itu pemimpin, dan amal adalah pengikutnya."
Oleh karena itu, hendaknya kita membekali diri dengan ilmu sebelum beramal, setidaknya kita mengetahui ‘dalil’nya, bukan hanya sekedar menuruti apa kata orang lain atau mengikuti apa yang sudah menjadi kebiasaan turun temurun,
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya." (QS. 17:36)
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: ", tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami". ", walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?"." (QS. 2:170)
Ironisnya, kita seringkali menuruti apa kata orang lain atau tidak jarang mengikuti apa yang sudah menjadi kebiasaan umum. Contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah dalam pelaksanaan sholat jamaah, seringkali kita jumpai, posisi antara imam dan makmum tidak mengikuti tauladan yang diberikan oleh Rasulullah saw, terutama untuk jamaah 2 orang lelaki. Posisi sholat berjamaah menurut Rasulullah saw dijelaskan oleh Ibnu Abbas ra, yaitu
Ibnu Abbas ra berkata,
"Aku shalat bersama Nabi SAW di suatu malam, aku berdiri di samping kirinya, lalu Nabi memegang bagian belakang kepalaku dan menempatkan aku di sebelah kanannya." (HR Bukhari)
Setiap muslim menyadari bahwa sholat yang mereka lakukan mengikuti apa yang Rasul ajarkan, seperti sabda beliau saw, "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat”. Tapi seringkali dalam prakteknya kita lebih condong untuk ‘mengikuti’ orang lain. Hal ini disebabkan antara lain karena kita seringkali malas mencari ilmu tentang agama, seolah-olah ilmu agama dapat kita ketahui secara alamiah, seolah-olah yang tahu masalah agama hanyalah ustadz atau ulama saja, seolah-olah sejak lahir kita telah pandai mengaji atau sholat, sehingga tidak perlu mengevaluasi sholat kita. Lucunya kita malah bersusah payah mencari ilmu dunia, meremehkan ilmu agama.
Sebuah ironi ketika lisan berucap menginginkan surga tapi perbuatan kita lebih condong kepada cinta dunia.
Mencari ilmu adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim, Alquran mendorong setiap muslim untuk menjadi orang yang berilmu, beramal dan mengajarkan ilmunya,
"... akan tetapi (dia) berkata, 'Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani (yang sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah), karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu telah mempelajarinya." (QS. 3:79)
Hendaknya kita optimalkan segenap anugrah yang Allah berikan kepada kita yaitu akal dan panca indera untuk meraih ilmu yang bermanfaat dunia-akhirat. Gunakan sepasang mata yang indah ini untuk banyak membaca, telinga untuk rajin mendengar, dan sepasang kaki yang dilangkahkan ke majelis-majelis, perpustakaan ataupun toko buku. Setiap muslim hendaknya jangan malu untuk bertanya,
"maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui,..." (QS. 16:43)
Berusahalah... karena agama ini diturunkan bukan untuk orang yang malas.
Sumber : http://akuingin menulis.blogspot.com/2008/09/agama-bukan-untuk-orang-yang-malas_02.html
Surga itu Tidak Gratis
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk jannah (surga), padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa malapateka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata: ‘Bilakah datangnya pertolongan Allah.’ Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah amat dekat.” (Al-Baqarah: 214).
Khabbab bin Arat ra, berteriak lantang: “Memang, ia (Muhammad) adalah utusan Allah kepada kita, untuk membebaskan dari kegelapan menuju terang benderang.” Sebuah deklarasi keimanan justru saat dakwah Rasulullah baru pada fase sirriyah dan lemah. Pernyataan itu diperdengarkan di depan segerombol kafir Quraisy. Kontan, mereka murka mendengarnya. Khabbab, si pandai besi itu sadar akan resiko yang ia hadapi. Tak ayal, mereka memukuli dan menyiksanya. Ia terhuyung tak sadarkan diri. Tubuhnya bengkak-bengkak. Seluruh tulang persendiannya terasa nyeri. Darah mengalir membasahi pakaian dan tubuhnya.
Ini bukan akhir Khabbab menuai siksaan. Onggokan besi, bahan baku pedang, di rumahnya menjadi senjata makan tuan. Kafir Quroisy mengubahnya menjadi alat siksa yang mengerikan. Mereka masukkan besi ke dalam api hingga merah membara. Dililitkannya besi menyala itu pada kedua tangan dan kaki Khabbab. Sakit tiada terkira. Namun, semua itu tak menjadikan ia bergeming dari keimanan.
Derita Khabbab belum usai. Ummi Anmar, bekas majikannya, turun tangan. Wanita jalang itu menyiksa dan menderanya. Ia mengambil besi panas yang menyala dan meletakkannya di ubun-ubun Khabbab. Ia menggeliat kesakitan. Nafas tetap ditahan agar tak keluar keluhan, karena keluhan hanya akan menjadikan para algojo bersorak-sorak.
Sampai suatu ketika Khabbab datang menghadap Rasulullah saw di bawah naungan Ka’bah. “Wahai Rasulullah! tidakkah Anda memohonkan pertolongan bagi kami? Usul Khabbab. Rasulullah duduk, raut mukanya memerah seraya bersabda: “Dahulu sebelum kalian, ada orang disiksa dengan dikubur hidup-hidup. Ada yang kepalanya digergaji menjadi dua bagian. Ada pula yang kepalanya disisir dengan sikat besi hingga kulit kepalanya terkelupas. Tetapi siksaan-siksaan itu tidak memalingkan mereka dari agamanya. Demi Allah, Allah pasti akan mengakhiri persoalan ini, sehingga orang berani berjalan dari Shan’a ke Hadramaut tanpa rasa takut kepada siapa pun selain Allah, walaupun srigala ada di antara hewan gembalaannya, tetapi kalian tampak terburu-buru.”
Itulah sepenggal episode kehidupan Khabbab r.a. Pada awal dakwah Islam, penyiksaan bahkan dialami oleh Rasulullah saw sendiri beserta para sahabat yang lain. Mungkin kita bertanya, mengapa Rasulullah saw dan para sahabatnya harus merasakan penyiksaan, sedangkan mereka berada pada pihak yang benar? Mengapa pula Allah Ta’ala tidak melindungi mereka, padahal mereka adalah tentara-tentara Allah, bahkan kekasih-Nya berada ditengah-tengah mereka?
Manusia dicipta bukan tanpa tujuan. Allah bermaksud mencipta manusia untuk beribadah kepada-Nya.
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56).
Beribadah itulah tujuan utama penciptaan manusia.
Sifat dasar ubudiyah adalah taklif (beban). Dalam Islam, orang yang akil baligh biasa disebut mukallaf, artinya, orang yang dibebani. Dengan demikian ubudiyah mengharuskan adanya taklif, sedang taklif menuntut adanya kesiapan menanggung beban dan perlawanan terhadap hawa nafsu dan syahwat. Taklif tersebut, tersimpul dalam kalimat laailaaha illallah, yang bermakna tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain hanya Allah. Meski kalimat tersebut singkat, namun ia bermakna padat. Ia mengandungi totalitas penetapan (itsbat) atas obyek peribadatan, meliputi tujuan (qasd), niat, pengagungan (ta’dhim), pengharapan (raja’), dan takut (khauf) hanya tertuju kepada Allah semata. Kalimat tersebut juga mengandungi totalitas pengingkaran (nafyu) atas obyek peribadatan kepada selain Allah yang meliputi sesembahan yang diyakini dapat mendatangkan manfaat dan madharat (aalihah), makhluk yang rela diibadahi, diikuti, dan ditaati (taghut), fatwa atau jalan hidup yang menyelisihi Islam (arbaab), dan segala yang dapat memalingkan manusia dari Allah, seperti harta, tempat tinggal, dan keluarga (andaad).
Dengan demikian, berislam memang (seharusnya) menumbuhkan sikap revolusioner. Konsekuensi berislam, adalah tuntutan memenuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, baik menyangkut ubudiyah mahdlah atau ghairu mahdlah. Juga, ubudiyah harus murni hanya kepada Allah. Dus, harus menolak beribadah kepada selain-Nya, baik dari golongan jin maupun manusia. Hal ini tentu membawa potensi ancaman yang beragam, terutama dari unsur-unsur yang diingkari untuk diibadahi, baik dari golongan jin maupun manusia. Di sinilah maksud taklif menuntut adanya kesiapan menanggung beban dan perlawanan.
Jadi, memang sejak semula manusia diciptakan untuk siap menanggung beban, ujian, dan cobaan. Karena jannah yang dijanjikan Allah tidaklah gratis, melainkan harus ditebus dengan berislam, lengkap dengan segala konsekuensi yang harus dipenuhi dan resiko yang harus dihadapi.
Sifat dasar ubudiyah adalah taklif (beban). Dalam Islam, orang yang akil baligh biasa disebut mukallaf, artinya, orang yang dibebani. Dengan demikian ubudiyah mengharuskan adanya taklif, sedang taklif menuntut adanya kesiapan menanggung beban dan perlawanan terhadap hawa nafsu dan syahwat. Taklif tersebut, tersimpul dalam kalimat laailaaha illallah, yang bermakna tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain hanya Allah. Meski kalimat tersebut singkat, namun ia bermakna padat. Ia mengandungi totalitas penetapan (itsbat) atas obyek peribadatan, meliputi tujuan (qasd), niat, pengagungan (ta’dhim), pengharapan (raja’), dan takut (khauf) hanya tertuju kepada Allah semata. Kalimat tersebut juga mengandungi totalitas pengingkaran (nafyu) atas obyek peribadatan kepada selain Allah yang meliputi sesembahan yang diyakini dapat mendatangkan manfaat dan madharat (aalihah), makhluk yang rela diibadahi, diikuti, dan ditaati (taghut), fatwa atau jalan hidup yang menyelisihi Islam (arbaab), dan segala yang dapat memalingkan manusia dari Allah, seperti harta, tempat tinggal, dan keluarga (andaad).
Dengan demikian, berislam memang (seharusnya) menumbuhkan sikap revolusioner. Konsekuensi berislam, adalah tuntutan memenuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, baik menyangkut ubudiyah mahdlah atau ghairu mahdlah. Juga, ubudiyah harus murni hanya kepada Allah. Dus, harus menolak beribadah kepada selain-Nya, baik dari golongan jin maupun manusia. Hal ini tentu membawa potensi ancaman yang beragam, terutama dari unsur-unsur yang diingkari untuk diibadahi, baik dari golongan jin maupun manusia. Di sinilah maksud taklif menuntut adanya kesiapan menanggung beban dan perlawanan.
Jadi, memang sejak semula manusia diciptakan untuk siap menanggung beban, ujian, dan cobaan. Karena jannah yang dijanjikan Allah tidaklah gratis, melainkan harus ditebus dengan berislam, lengkap dengan segala konsekuensi yang harus dipenuhi dan resiko yang harus dihadapi.
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk jannah (surga), padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa malapateka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan berbagai cobaan) sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata: ‘Bilakan datangnya pertolongan Allah.’ Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah amat dekat.” (Al-Baqarah: 214).
Lantas apa maksud Allah? bukankah bagi-Nya segala sesuatu mudah jika mengendaki? hanya dengan kalimat kun fayakun(Jadilah! maka akan terjadi), termasuk mudah bagi Allah jika Dia menghendaki Islam tegak di muka bumi, juga mudah bagi-Nya jika mengendaki seluruh manusia memeluk Islam…?
Sengaja Allah tidak membuat semuanya berjalan mulus, Dia bermaksud menguji hamba-hambanya hingga dapat dibuktikan siapa yang mukmin dan siapa yang munafik, siapa yang jujur dan siapa yang dusta? Berislam secara lisan belaka, tanpa ada konsekuensi-konsekuensi tertentu, tentu akan sulit membedakan antara yang sungguh-sungguh dengan yang berpura-pura. Di sinilan relevansi mekanisme ujian dan cobaan bagi seorang hamba.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: ‘Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji lagi?’ Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sungguh Allah mengetahui orang-orang yang benar, dan sungguh Allah mengetahui orang-orang yang dusta.”(Al-Ankabut: 2–3).
No comments:
Post a Comment